Mendapat 2000 Dinar Karena Amanah
“Mengapa kamu bakhil memberikan satu dinar, tetapi kamu malah memberikan semuanya?”
Al-Alawi
Sesiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberikan ganti yang lebih baik kepadanya. Inilah yang pernah dialami oleh seorang Alawi.
Sikap amanahnya dalam menjaga barang temuannya menjadikan dirinya mendapat uang senilai 2000 dinar. Kisah menarik ini disebutkan oleh At-Tanukhi dalam Al-Faraj Ba‘da Asy-Syiddah (3/287-292):
Al-Hasan bin Muhammmad Al-Anbari, seorang penulis, berkata,
“Ketika tinggal di Arjan, aku memiliki seorang tetangga yang berprofesi sebagai pedagang, namanya Jafar bin Muhammad. Aku sangat akrab dengannya. la bercerita kepadaku, “Aku selalu melaksanakan ibadah haji. Aku tinggal di rumah seorang keturunan Alawi, dari keturunan Husain. La miskin akan tetapi ia menjaga kehormatan dirinya. Aku bersikap lembut kepadanya dan selalu mencarinya.
Pada suatu tahun, aku tidak melaksanakan ibadah haji, kemudian pada tahun berikutnya, aku datang untuk melaksanakan ibadah haji, Ternyata aku telah mendapati dirinya sudah berkecukupan, dan aku pun senang, Ketika kutanya tentang penyebabnya, ia berkata,
“Aku memiliki beberapa dirham yang aku kumpulkan beberapa tahun lamanya. Aku pun berpikir, pada tahun pertama aku ingin menikah, karena memang kondisiku masih bujang.”
Kemudian aku sadar bahwa ibadah haji mungkin membantuku. Aku pun melaksanakan ibadab haji. Aku bertawakal kepada Allah agar memberikan kemudahan kepadaku agar aku bisa menikah.
Ketika sedang melaksanakan ibadah haji, aku melaksanakan Thawaf Qudum. Aku titipkan hewan tungganganku di salah satu rumah di komplek pertokoan. Setelah itu aku pergi menuju Mina.
Ketika kembali, aku dapati rumah itu terbuka dan kosong. Aku pun bingung. Aku belum pernah merasakan derita yang aku alami seperti pada hari itu. Aku tahu bahwa balasan pahala musibah ini pasti besar, jadi untuk apa bersusah hati?
Aku pun menyerahkannya kepada Allah. Lalu aku duduk di rumah itu karena tidak memiliki cara lain. Jiwaku juga menolak untuk meminta-minta. Akhirnya aku tinggal di rumah tersebut selama tiga hari.
Pada hari keempat, aku semakin lemah. aku mengkhawatirkan keselamatan diriku sendiri. Aku teringat ucapan kakekku, Muhammad, Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan keluarganya, ‘Air zam-zam itu sesuai untuk apa ia diminum (Jika sakit, akan disembuhkan Allah. Jika lapar, akan dikenyangkan. Jika kekurangan, akan diberi kecukupan).
Maka aku pun keluar rumah untuk minum air Zam-zam, hingga aku meminumnya. Kemudian aku kembali ke rumah. Aku menuju pintu Maqam Ibrahin—Semoga seutama-utama shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita dan beliau—untuk beristirahat di dekatnya.
Ketika hendak bangkit untuk berjalan, aku menemukan sesuatu yang membuat jari kakiku sakit. Aku berusaha mengambilnya, dan tanganku menyentuh kantong kulit berwarna merah berukuran besar. Aku pun mengambilnya.
Tetapi sudah berada dalam genggaman tanganku, aku menyesal, dan sadar bahwa barang temuan selama tidak diumumkan—adalah haram.
Aku berkata, “Jika sekarang aku biarkan, berarti aku menyia-nyiakannya. Aku harus mengenali dan mengumumkannya. Semoga saja jika aku mengembalikan kantong ini kepada pemiliknya, maka ia memberikan sesuatu kepadaku yang bisa kubelikan untuk makanan yang halal.”
Maka aku pun kembali ke rumah, lalu membuka kantong tersebut. Ternyata di dalamnya ada uang dinar emas yang kuning, jumlahnya lebih dari dua ribu dinar.
Aku ikat lagi kantong itu, lalu kembali ke masjid, dan duduk di samping Hijr Isma’il. Aku berseru, “Siapakah yang kehilangan sesuatu, maka hendaklah ia datang kepadaku dengan menyebutkan tanda-tandanya untuk mengambilnya.”
Aku menghabiskan hariku untuk menyeru, akan tetapi tidak ada seorang pun datang kepadaku sementara aku tetap dalam keadaan lapar. Pada malam itu, aku tidur di rumah dalam keadaan kelaparan.
Keesokan harinya, aku kembali ke bukit Shafa dan Marwah, aku terus mengumumkannya seharian. Akan tetapi, tetap tidak ada siapa pun yang datang.
Aku benar-benar payah, dan mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku kembali dengan memikul beban berat hingga aku duduk di pintu Maqam Al-Khalil Ibrahim. Sebelum pergi, aku berkata, “Aku lemah, tidak sanggup lagi berteriak. Aku duduk di pintu Maqam Ibrahim. Maka, jika ada yang melihat seseorang yang kehilangan sesuatu, maka tunjukkanlah ia kepadaku.”
Ketika mendekati waktu Maghrib, aku masih berada di tempat itu. Tiba-tiba orang dari Khurasan datang. la menyatakan kehilangan sesuatu. Aku memanggilnya, aku katakan kepadanya,
“Tolong sebutkan ciri-ciri barangmu yang hilang itu?” la menyebutkan ciri-cirinya persis seperti kantong yang aku temukan. la juga menyebutkan berat dan jumlah dinar tersebut.
Aku katakan kepadanya, “Jika aku tunjukkan orang yang menemukan kantongmu, apakah engkau memberikan seratus dinar kepadaku?”
“Tidak”
“Lima puluh dinar?”
“Tidak”
“Sepuluh dinar?”
“Tidak.”
Aku terus-menerus menurunkan permintaanku hingga sampai satu dinar. Tetapi ia tetap menjawab, “Tidak. Jika ada orang yang bertemu dengan orang yang menemukan kantong tersebut, hendaknya ia meminta agar mengembalikannya dengan keimanan dan keikhlasan. Jika tidak, maka dia yang lebih tahu.” Kemudian ia pergi.
Aku berada dalam kondisi sulit, dan berniat untuk diam. Tetapi kemudian muncul rasa takut kepada Allah, dan khawatir jika aku kehilangan orang Khurasan itu.
Aku memanggilnya, “Kembalilah! Kembalilah!” kemudian aku mengeluarkan kantong uang dinar tersebut lalu menyerahkannya kepadanya. la pun mengambilnya dan beranjak pergi. Aku hanya bisa duduk, aku tidak memiliki kekuatan untuk berjalan pulang ke rumah.
Tidak lama berselang, ia kembali. la bertanya kepadaku, “Siapakah dirimu dan berasal dari daerah mana? Aku sangat marah kepadanya, “Kamu tidak pantas menanyakan itu! Apakah masih ada hubungan antara aku dan dirimu?”
la menjawab, “Tidak, akan tetapi aku memohon kepadamu dengan nama Allah yang Maha Agung, siapa kamu dan dari mana kamu berasal? Perkenalkanlah dirimu, jangan marah!”
Aku menjawab, “Aku orang Arab yang berasal dari Kufah”
“Dari golongan mana engkau? Jawablah dengan singkat!”
“Aku adalah keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a.”
la bertanya, “Bagaimana keadaanmu dan harta bendamu?”
Aku jawab, “Aku tidak memilikiapa-apa di dunia ini melainkan apa yang engkau lihat.” Aku pun bercerita kepadanya tentang ujian yang menimpaku, dan harapanku untuk mendapatkan bagian dari penemuan kantong uang tersebut. Aku juga menceritakan kepadanya tentang kondisiku yang lemah karena kelaparan.
Ia berkata, “Aku butuh orang lain yang menjelaskan kepadaku tentang kebenaran nasab dan keadaanmu sehingga aku dapat mengetahui yang sebenarnya.”
Aku katakan, “Aku tidak bisa berjalan karena lemah. Akan tetapi pergilah ke tempat Thawaf. Panggillah orang-orang yang berasal dari Kufah. Katakanlah, “Ada seorang laki-laki dari negeri kamu, ia berasal dari golongan Alawi. la berada di pintu Maqam Ibrahim, la ingin agar ada seseorang dari kamu yang datang untuk menjelaskan kondisinya yang sebenarnya.” Jika ada yang datang kepadamu, maka bawalah ia kemari.”
la pun pergi tak jauh, kemudian ia datang bersama sekelompok orang Kufah. Mereka semua sepakat bahwa mereka mengetahui tempat tinggalku.
Mereka berkata, “Apa yang engkau inginkan wahai orang mulia?”
Aku katakan, “Orang ini ingin mengetahui keadaan dan nasabku. Karena ada sesuatu antara aku dan dia. Beritahukanlah apa yang kalian ketahui tentang diriku.”
Lalu mereka pun memberitahukan tentang nasabku, mereka menyebutkan sifat-sifatku dan keadaanku yang tidak memiliki apa-apa.
Orang Khurasan itu kemudian pergi, lalu datang lagi dengan membawa kantong dinar yang aku serahkan sebelumnya. Ia berkata, “Ambillah dinar ini seluruhnya, semoga Allah memberikan berkah-Nya kepadamu dalam dinar ini.”
Aku katakan kepadanya, “Wahai kamu, tidak cukupkah apa yang telah engkau lakukan terhadapku, hingga kamu mengejekku? Sementara aku dalam keadaan sekarat akan mati.”
la berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Kantong ini untukmu, demi Allah”
Aku katakan kepadanya,”Mengapa kamu bakhil memberikan satu dinar, tetapi kamu malah memberikan semuanya?”
la menjawab, “Kantong dinar ini bukan milikku. Oleh sebab itu, aku tidak boleh memberikannya kepadamu, sedikit pun. Kantong ini diberikan oleh seseorang kepadaku. la memintaku agar mencari seorang Alawi dari keturunan Husain di Irak atau di Hijaz, yang miskin tetapi tetap menjaga kehormatan dirinya. La juga berpesan, “Jika engkau bertemu dengannya, maka berilah ia kecukupan,” Artinya dia berpesan agar aku menyerahkan semua uang ini kepadanya agar menjadi sumber karunia baginya.
Ciri-ciri di atas tidak aku temukan pada seorang pun sebelummu. Ketika ciri-ciri dan sifat-sifat itu ada padamu, seperti yang telah saya saksikan, seperti sikap amanahmu, kemiskinanmu, sikapmu dalam menjaga kehormatan diri, kesabaranmu dan juga kebenaran nasabmu, maka aku serahkan kantong uang dinar ini kepadamu.”
Aku katakan kepadanya, “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu. Jika engkau ingin menyempumakan pahala, maka ambillah satu dinar, kemudian tukarkanlah dengan beberapa dirham untukku, kemudian belikan sesuatu yang bisa aku makan, kemudian berikanlah kepadaku di sini.”
la berkata, “Aku memiliki keperluan denganmu.”
Aku katakan, “Katakanlah!”
la berkata, “Aku adalah orang yang berkecukupan. Aku tidak membutuhkan apa-apa dari uang dinar itu, sebagaimana yang telah aku jelaskan kepadamu. Aku mintamu agar kamu sudi pergi bersamaku. Engkau akan menjadi tamuku di kota Kufah, dan uang dinarmu tetap utuh.”
Aku katakan, “Aku tidak bisa bergerak. Angkatlah sesuai kehendakmu.”
Sejenak kemudian dia pergi, lalu datang membawa kendaraan (hewan tunggangan). Kemudian ia mengangkat aku ke atas kendaraannya. la memberikan makanan yang dimilikinya kepadaku.
Keesokan harinya ia memberikan pakaian kepadaku. Ia melayaniku secara langsung, dan menceritakan tentang rumahnya yang ada di Kufah. Ketika tiba di rumahnya, ia memberikan beberapa dinar lagi seraya berkata, “Belilah perbekalan barang-barang.”
Kemudian aku pergi meninggalkannya. Aku mendoakannya dan berterima kasih kepadanya. Aku tetap tidak menyentuh kantong uang dinar itu.
Aku menggunakan uang-uang dinar tambahan yang ia berikan kepadaku dengan hemat. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah kebun yang murah, kemudian aku membelinya dengan dinar yang ada di kantong tersebut. Kebun itu tumbuh dan berbuah. Aku benar-benar berada dalam nikmat Allah yang sangat besar dan dalam kebaikan yang sangat banyak. Segala puji bagi Allah atas semua itu.
[ Ibnu Abdil Bari El-‘Afifi, 155 Kisah Langka Para Salaf ]
0 comments