
Putra Mahkota dan Cincin Permata
“Sungguh aku tidak mengetahui bahwa pemuda itu putra Ar Rasyid hingga dia sendiri yang memberitahuku” Abdullah bin Al-Faraj
Setiap orang pasti akan menghadap kepada Allah saat matinya. Tetapi orang yang paling berbahagia adalah orang yang berjalan menuju Allah di sepanjang hidupnya. Di antara orang yang berbahagia itu adalah putra Ar-Rasyid yang rela hidup zuhud dan menghabiskan waktunya untuk berkhidmat beribadah kepada Allah, dan menjauhi hidup di istana kerajaan. Alangkah bahagia hidupnya, dan alangkah indah matinya.
Kisah putra mahkota ini disebutkan oleh Al-Ajuri dalam bukunya, Al-Ghuraba’ (hal. 61) dan Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah (1/466-468):
Al-Ajuri menyebutkan bahwa Muhammad bin Husain bercerita, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abi Thayyib berkata,
“Abdullah bin Al-Faraj, seorang ahli ibadah, berkata, “Aku membutuhkan seorang kuli yang akan bekerja untukku, maka aku pergi ke pasar melihat-lihat kuli. Tiba-tiba di penghujung kuli-kuli itu ada seorang pemuda berkulit kuning sedang membawa tas keranjang. Dia lewat dengan mengenakan jubah serta kain dari bulu domba kasar (wol).
Aku pun bertanya kepadanya, “Kamu mau kerja juga?”
“Ya!” jawabnya.
“Berapa upah yang kamu minta,?”
“satu dirham dan satu daniq”
“Berdirilah, dan bekerjalah untukku.”
“Dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Jika waktu Zhuhur telah tiba, aku akan keluar, wudhu dan shalat di masjid secara berjamaah, kemudian kembali bekerja, demikian pula ketika waktu shalat Ashar tiba.”
“Ya”
Setelah bersepakat, ia mengikutiku sampai rumah dan aku perintahkan untuk mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain. la pun mengencangkan tali pinggang dan bekerja serta tidak berbicara sepatah kata pun. Lalu ketika sudah tiba waktu Zhuhur, dia berkata kepadaku,
“Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan Zhuhur.”
“Sekarang terserah dirimmu.”
Kemudian dia keluar shalat dan kembali bekerja dengan giat sampai ketika telah tiba waktu Ashar, dia berkata lagi kepadaku,
“Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan Ashar!
“Sekarang terserah dirimu.”
Kemudian ia keluar shalat Ashar dan kembali bekerja sampai senja hari. Akupun memberikan upahnya dan ia bergegas pulang. Beberapa hari setelah itu aku membutuhkan Kuli kembali, maka istriku berkata kepadaku, “Suruh saja kuli muda yang kemarin itu, karena ia bekerja dengan sangat bagus!”
Aku pun mendatangi pasar, tetapi aku tidak melihat pemuda itu, Lantas aku bertanya kepada orang-orang dan mereka menjawab,
“Kamu bertanya tentang seorang pemuda yang berkulit kuning langsat? Kami tidak melihatnya kecuali pada hari Sabtu saja dan ia senantiasa duduk sendirian di bagian belakang.”
Aku pun pulang.
Pada hari Sabtu, aku kembali ke pasar, dan kebetulan bertemu dengan orang yang aku cari. Aku bertanya kepadanya,
“Kamu mau bekerja lagi?”
“Kamu sudah mengetahui upah dan syarat yang aku ajukan?” tanyanya
Aku jawab, “Aku meminta pilihan terbaik kepada Allah.”
la pun bangkit dan bekerja dengan baik sebagaimana waktu yang lalu. Ketika ia telah selesai dari pekerjaannya, aku memberikan upah dan menambahinya, akan tetapi ia tidak mau menerima tambahan upah tersebut.
Aku pun membujuknya agar mau menerimanya. Akan tetapi ia justru marah dan meninggalkanku sendirian, Aku merasa sedih karenanya dan berusaha menyusulnya. Aku berhasil menyusulnya dan membujuknya, akhirnya ia mau mengambil upahnya saja dengan tanpa tambahan.
Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, aku membutuhkan kuli lagi, maka aku menunggu sampai tiba hari Sabtu, akan tetapi aku tidak mendapati pemuda itu di pasar. Aku lantas bertanya kepada orang-orang tentang keadaannya. Ada yang menjawab bahwa pemuda itu sedang sakit.
Ada seseorang yang memberikan kabar mengenai keadaan pemuda tadi bahwa ia bekerja dari hari Sabtu ke hari Sabtu yang lain, dengan upah satu dirham lebih satu daniq, Setiap harinya, ia makan dengan satu daniq. Saat ini dia sedang sakit.
‘Aku kemudian bertanya tentang lokasi rumahnya dan mendatanginya, rupanya ia tinggal di rumah seorang nenek tua.
‘Aku bertanya pada nenek tadi, “Apakah di sini tinggal seorang pemuda yang bekerja sebagai kuli?”
Nenek tua tadi menjawab, “Sejak beberapa hari yang lalu, ia sakit.”
Aku kemudian masuk menemuinya, ia benar-benar sakit dan di bawah kepalanya terdapat batu bata sebagai bantal. Aku mengucapkan salam kepadanya dan berkata, “Apakah engkau
membutuhkan bantuan?”
“lya, jika kamu berkenan melakukannya.”
“Berkenan insya Allah.” Jawabku.
la berkata, “Jika nanti aku mati, maka juallah ini, dan cucilah jubahku serta kain wolku ini, kemudian kafanilah aku dengannya!
Bukalah saku jubahku karena di dalamnya ada sebuah cincin, ambillah cincin itu kemudian perhatikanlah kapan Harun Ar-Rasyid lewat di suatu jalan, dan berdirilah di tempat yang bisa terlihat olehnya. Panggillah ia dan perlihatkan cincin itu, maka ia akan memanggilmu, Setelah itu serahkanlah cincin tersebut kepadanya! Tetapi wasiat ini jangan kau lakukan kecuali setelah aku mati.”
Aku menjawab, “Ya.”
Setelah ia meninggal dunia aku melaksanakan apa yang ia perintahkan, dan aku memperhatikan hari di mana Harun Ar-Rasyid lewat. Ketika Ar-Rasyid lewat, aku memanggilnya, “Wahai
amirul mukminin, aku memiliki titipan untukmu’, sambil aku memperlihatkan cincin permata. la pun memerintahkan agar aku dihadapkan kepadanya. Ketika memasuki istananya, Ar-Rasyid memanggilku, dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk keluar. Ar-Rasyid kemudian bertanya kepadaku, “Siapa kamu ini?”
“Abdullah bin Al-Faraj.” Jawabku.
“Dari mana kamu mendapatkan cincin ini?”
Aku kemudian menceritakan kisah pemuda yang aku temui. Tiba-tiba Ar-Rasyid menangis menitikkan air mata, dan menangis terisak-isak sampai aku merasa iba kepadanya. Setelah agak tenang aku bertanya kepadanya,
“Wahai amirul mukminin, sebenarnya apa hubungan pemuda tersebut dengan Anda?”
“ia adalah putraku.”
Aku bertanya kembali, “Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Ar-Rasyid menjawab, “la lahir sebelum aku menjabat sebagai khalifah, ia tumbuh menjadi anak yang shalih, menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu syar’i. Ketika aku diangkat menjadi khalifah ia meninggalkan aku dan tidak mau menikmati harta dunia yang aku miliki sedikitpun juga”
Aku kemudian menyerahkan cincin ini kepada ibunya. Cincin ini ialah permata yang sangat mahal harganya. Aku berkata kepada ibunya,
“Serahkanlah cincin ini kepada anak kita, dan mintalah agar ia membawanya agar ia bisa memanfaatkannya suatu hari kelak, la adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya.
Semenjak ibunya meninggal aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya kecuali kabar yang telah engkau sampaikan kepadaku.”
Kemudian Ar-Rasyid berkata lagi kepadaku, “Malam ini keluarlah bersamaku menuju kuburan putraku”
Ketika malam telah tiba Ar-Rasyid keluar bersamaku menuju kuburan putranya, manakala kami sampai di kuburan putranya, Ar-Rasyid duduk di samping kuburan dan menangis terisak-isak, sampai ketika fajar telah terbit kami berdiri dan pulang.
Ar-Rasyid berkata kembali, “Berjanjilah kepadaku untuk senantiasa menemaniku setiap malam untuk berziarah ke kuburan putraku!”
‘Aku pun berjanji untuk senantiasa menemaninya berziarah setiap malam.
Abdullah bin Al-Faraj kemudian berkata mengakhiri kisah ini, “Sungguh aku tidak mengetahui bahwa pemuda itu putra Ar-Rasyid hingga dia sendiri yang memberitahuku.”
[ Ibnu Abdil Bari El-‘Afifi, 155 Kisah Langka Para Salaf ]
0 comments