Lenyapnya Kedzhaliman Karena Adzan Berkumandang
“Kumandangkanlah adzan kapan pun kamu mau, atau pada waktu tengah malam seperti ini”
Al-Mu’tadhid
Sesiapa yang cemburu ketika melihat kemungkaran, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Bahkan, tersebab dirinya, kezhaliman bisa lenyap. Ada kisah menakjubkan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa An-Nihâyah (11/101-103) terkait hal ini, yaitu adzan yang dikumandangkan tengah malam justru mendatangkan barakah:
Al-Qadhi Abul Hasan Muhammad bin Abdul Wahid AlHasyimi mengisahkan tentang seorang syaikh yang menjadi saudagar. Ia berkisah, “Ketika itu, aku memiliki harta berlimpah yang dikuasai seorang gubernur. la mencoba mempersulit dan menghalangi hakku. Setiap kali aku datang untuk menuntutnya, ia menghindarkan diri dariku dan memerintahkan para pengawalnya untuk menyakitiku.
Aku pun mengadukan masalahku ini kepada seorang menteri. Akan tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Aku juga melaporkan hal itu kepada para pejabat pemerintahan yang lain. Akan tetapi mereka juga tidak berani memberikan keputusan sedikit pun. Semua sikap ini menambah sang gubernur semakin berani menguasai harta tersebut. Hal ini membuatku berputus asa untuk mendapatkan harta yang dikuasainya. Aku pun sedih karena berhadapan dengannya.
Ketika aku sedang kebingungan, dan tidak tahu kepada siapa lagi aku harus mengadu, tiba-tiba seorang lelaki menegurku, “Mengapa kamu tidak menemui si Fulan Al-Khayyath.” (tukang jahit pakaian) yang kebetulan juga sebagai imam masjid di daerah itu.
“Apa yang dapat dilakukan si Khayyath terhadap orang zhalim ini, sedangkan para pejabat pemerintahan saja tidak mampu menghentikannya?” Tanyaku.
la menjelaskan, “la lebih mampu dan lebih ditakuti olehnya dibandingkan dengan semua orang yang kamu lapori. Temuilah ia, barangkali kamu menemukan solusi darinya.”
Aku pun segera menemuinya tanpa banyak mengharapkan keberhasilan. Setelah bertemu, aku kemukakan keperluanku menemuinya dan tentang hartaku, serta perlakuan si zhalim ini terhadapku. Kemudian Al-Khayyath mengajakku menemui gubernur tersebut. Setelah melihatnya, ia pun menyambutnya dan memuliakannya.
Al-Khayyath segera menyelesaikan persoalanku, berusaha memperoleh hak-hakku yang dikuasainya, dengan memintanya untuk menyerahkan harta itu kepadaku secara utuh tanpa kurang sedikit pun. Al-Khayyath mengatakan, “Serahkanlah hak lelaki ini. Jika tidak, maka aku akan mengumandangkan adzan.”
Mendengar ancaman Al-Khayyath, maka raut muka gubernur berubah pucat pasi dan kemudian mengembalikan hakku. Aku tertakjub dengan sosok Al-Khayyath. Meskipun nampak kecil dan lemah postur tubuhnya, tetapi bagaimana bisa gubernur itu tunduk kepadanya?
Aku kemudian menawarkan kepadanya sebagian dari hartaku, akan tetapi ia tidak bersedia menerimanya. Ia berkata, “Seandainya aku menginginkan ini, maka tentulah aku memperoleh harta yang tidak terhitung jumlahnya.” Lalu kutanyakan kepadanya tentang kisahnya, dan aku sebutkan kekagumanku terhadapnya. Aku berulang kali meminta agar ia menceritakan kisahnya itu.
Al-Khayyath pun menjelaskan, “Sebab dari semua itu adalah bahwasanya kami pernah bertetangga dengan seorang gubernur dari Turki dan termasuk keluarga besar pemerintah yang berkuasa. la adalah seorang pemuda yang rupawan. Suatu hari, seorang wanita yang cantik jelita keluar dari kolam pemandian dengan pakaian yang terangkat ke atas. Karena mabuk, pemuda tersebut mendekatinya dan ingin memperkosanya dengan membawanya masuk ke dalam rumahnya.
Tetapi wanita tersebut menolak dan berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai kaum muslimin, aku adalah seorang wanita yang sudah bersuami. Lelaki ini menginginkan tubuhku dan membawaku ke dalam rumahnya. Padahal suamiku telah bersumpah akan menceraikan aku jika aku tidak bermalam di rumahnya. Jika aku bermalam di sini, tentu aku tertalak darinya. Namaku juga akan tercemar, yang tidak akan terhapus dalam jangka waktu yang lama, juga tidak dapat dibersihkan dengan deraian air mata.”
Al-Khayyath melanjutkan, “Kemudian aku mendekati pemuda itu dan memperingatkan perbuatannya. Aku ingin membantu wanita itu terbebas dari gangguannya. Tetapi pemuda itu justru memukulku dengan tongkat yang ada di tangannya hingga kepalaku terluka.
Akhirnya pemuda itu berhasil menguasai wanita tersebut dan memasukkannya ke dalam rumahnya secara paksa. Aku pun kembali ke rumah untuk membersihkan darah yang mengucur dari kepalaku.
Kuperban kepalaku dan kemudian mengerjakan shalat Isya’ berjamaah bersama manusia. Kepada para jamaah yang hadir, kukatakan, “Sesungguhnya pemuda ini telah melakukan perbuatan sebagaimana yang kalian ketahui. Karena itu, ayolah kita semua mendatanginya untuk mencegah perbuatannya itu dan membebaskan wanita tersebut.”
Para jamaah pun segera bangkit dan bergerak bersamaku. Kami menyerang rumahnya. Akan tetapi anak buahnya melakukan perlawanan terhadap kami dengan membawa tongkat dan beberapa alat lainnya untuk memukuli para jamaah yang datang bersamaku. Dari tengah-tengah anak buahnya, pemuda itu mendekatiku dan kemudian menghujamkan pukulan keras kepadaku hingga berdarah. Akhirnya kami pun keluar dari rumahnya dalam keadaan sangat terhina.
Aku kembali pulang tanpa mengetahui jalan mana yang kulalui karena rasa nyeri luar biasa yang kurasakan, juga banyaknya darah yang mengalir. Sesampainya di rumah, aku segera merebahkan diri di atas tempat tidur, akan tetapi aku tidak bisa tidur. Aku bingung memikirkan apa yang dapat kulakukan untuk dapat membebaskan wanita tersebut dari penyanderaannya agar ia dapat kembali ke rumahnya, bermalam di rumahnya, dan tidak tertalak dari suaminya.
Sesaat kemudian aku mendapat ilham untuk mengumandangkan adzan Shubuh di pertengahan malam agar gubernur itu mengira bahwa waktu Shubuh telah tiba. Dengan begitu, maka ia akan keluar dan mengeluarkan wanita tersebut dari rumahnya, sehingga wanita itu dapat pulang ke rumah suaminya.
Aku pun naik ke menara dan sesampainya di atas menara aku menghadap ke arah pintu rumahnya. Sebelum mengumandangkan adzan, aku memastikan apakah aku melihat wanita tersebut sudah keluar. Karena belum keluar, aku kemudian mengumandangkan adzan. Akan tetapi wanita itu tidak keluar. Kemudian aku bersikeras untuk adzan terus dan kalau pun belum keluar, maka aku akan mengumandangkan iqamah untuk shalat hingga waktu pagi itu nampak nyata.
Ketika aku sedang memperhatikan apakah wanita itu sudah keluar ataukah belum, tiba-tiba jalanan dipenuhi dengan orang-orang, baik yang berjalan kaki maupun penunggang kuda. Mereka bertanya, “Siapa orang yang mengumandangkan adzan pada waktu seperti ini?”
Kujawab, “Ini aku.”
Aku berharap mereka mau membantuku menghentikan perbuatan pemuda tersebut.
Orang-orang itu mengatakan, “Turunlah!” Aku segera turun dari menara.
Mereka mengatakan, “Jawablah panggilan Amirul Mukminin.” Lalu mereka menangkapku dan aku tidak bisa melakukan sesuatu pun hingga mereka menyerahkanku di hadapan Amirul Mukminin. Ketika aku melihat Amirul Mukminin duduk di singgasana kerajaan, aku gemetar karena ketakutan dan aku sangat terkejut.
Amirul Mukminin berkata, “Mendekatlah ke sini.” Aku pun mendekatinya. Amirul Mukminin berusaha menenangkanku dengan mengatakan, “Kuasailah dirimu, dan tenangkanlah hatimu.”
Amirul Mukminin terus berusaha menenangkanku dan membuat diriku nyaman sehingga tidak lagi merasa takut dan cemas. Lalu Amirul Mukminin bertanya, “Apakah kamu orang yang mengumandangkan adzan tadi?”
“Ya, wahai Amirul Mukminin,” jawabku.
Amirul Mukminin bertanya lebih jauh, “Apa yang mendorongmu mengumandangkan adzan pada waktu seperti ini, padahal malam masih panjang, dan lebih panjang dari yang sudah berlalu? Dengan perbuatanmu itu kamu telah menipu orang yang berpuasa, musafir, orang yang shalat malam dan yang lainnya.”
“Apakah Amirul Mukminin bersedia memberikan perlindungan kepadaku jika aku menyampaikan kisahku yang sebenarnya?”
Amirul Mukminin menjawab, “lya, kamu aman.” Aku pun menceritakan kisahku kepada Amirul Mukminin.
Mendengar penuturanku, Amirul Mukminin nampak sangat marah dan memerintahkan agar segera menghadirkan gubernur beserta wanita tersebut saat itu juga dan dalam kondisi apapun. Kemudian keduanya segera dihadirkan. Si wanita diserahkan kepada suaminya dengan didampingi beberapa wanita yang dapat dipercaya.
Amirul Mukminin juga memerintahkan agar si suami berkenan memaafkan istrinya dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Karena ia dalam kondisi dipaksa dan udzur.
Lalu Amirul Mukminin menghadap ke arah pemuda itu seraya bertanya kepadanya, “Berapa gajimu? Berapa jumlah kekayaanmu? Berapa budak perempuan dan istri-istri yang kamu miliki?” Kemudian pemuda itu menyebutkan jumlah yang banyak.
Amirul Mukminin berkata, “Celakalah kamu. Tidakkah nikmat yang Alah karuniakan kepadamu tidak mencukupimu sehingga kamu berani melanggar larangan Allah dan melampaui batasan-batasan-Nya? Kamu juga berani melawan pemerintah. Tidak cukup itu, kamu juga tega menganiaya seseorang yang berusaha memerintahkan yang makruf dan mencegahmu dari yang mungkar. Kamu telah memukulnya dan menghinakannya hingga berdarah?”
Pemuda itu pun tidak bisa memberikan jawaban sama sekali.
Kemudian Amirul Mukminin memerintahkan agar kakinya dan lehernya dirantai, lalu dimasukkan dalam karung dan diperintahkan untuk dipukuli dengan pentungan sekeras-kerasnya, sehingga aku khawatir keselamatan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Amirul Mukminin juga memerintahkan agar pemuda itu dilemparkan ke sungai Dajlah dan itu merupakan akhir kejayaannya.
Setelah itu, kepolisian diperintahkan untuk menyita semua kekayaan dan harta benda yang diperolehnya dari Baitul Mal.
Kepada Al-Khayyath, lelaki yang shalih, Amirul Mukminin mengatakan, “Setiap kali kamu melihat kemungkaran kecil maupun besar, meskipun dilakukan oleh pihak kepolisian, maka beritahukanlah aku jika memang ada waktu bagimu untuk menemuiku. Jika tidak, maka berilah tanda antara aku denganmu dengan mengumandangkan adzan. Kumandangkanlah adzan kapan pun kamu mau, bahkan saat tengah malam seperti ini.”
Al-Khayyath mengatakan, “Karena peristiwa itulah, maka aku tidak memerintahkan kepada seorang pun dari pejabat negara atau keluarga istana kecuali mereka mematuhinya. Dan aku tidak melarang kepada mereka melakukan sesuatu kecuali mereka meninggalkannya karena takut dengan Al-Mu’tadhid. Tapi sejak saat itu hingga kini, aku tidak perlu untuk mengumandangkan adzan lagi.”
[ Ibnu Abdil Bari El-‘Afifi, 155 Kisah Langka Para Salaf ]
0 comments