Lelaki Berhati Mulia
Dalam hidup ini, setiap orang pasti pernah berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai macam tingkat pendidikan, kedudukan sosial, tingkah laku dan juga latar belakangnya. Ada yang muslim dan non-Muslim, ada yang berpegang teguh dengan agamanya dan ada pula yang fasik. Ada yang kaya dan ada juga yang miskin. Ada yang terpelajar dan ada juga yang awam. Ini adalah sunah kehidupan.
Di antara prinsip hidup yang paling pokok dalam berinteraksi dengan sesama adalah tetap berbuat baik kepada mereka, dalam keadaan dan kondisi apapun. Seperti yang pernah diteladankan oleh Ahmad bin Khalid yang kisahnya diabadikan oleh At-Tanukhi dalam bukunya, Al-Faraj Ba’da Asy-Syiddah (2/76-84).
Abul Hasan Ali bin Isa dan Abul Hasan Al-lyyadi Al-Katib berkata bahwa keduanya mendengar Ubaidullah bin Sulaiman bercerita, “Ayah adalah seorang pejabat kantor pajak di kota Surra Man Ra’a (dulu bernama Samira). Ketika aku dan ayah sedang berada di kantor pajak tersebut, tiba-tiba seorang penulis yang bernama Ahmad bin Khalid Ash-Shuraifini datang.
Ayah langsung berdiri menyambutnya, lalu mempersilakannya duduk di kursinya. Ayah mendudukkannya di depannya, dan terlibat akrab dengannya.
Ayah tidak beranjak bekerja hingga Ahmad bangkit dari duduknya, kemudian ayah berdiri bersamanya, dan memerintahkan beberapa pelayannya untuk keluar di depan Ahmad.
Aku dan beberapa orang yang berada dalam kantor itu merasa aneh. Karena kebiasaan penghuni kantor tersebut, baik orang-orang dewasa maupun anak-anak, mereka tidak pernah berdiri untuk menyambut kedatangan siapa pun di antara hamba Allah.
Ternyata ayah menyadari keheranan kami. Ayah kemudian berkata, “Wahai putraku. Jika sudah sepi, engkau boleh bertanya mengapa ayah berdiri untuk menyambut kedatangan laki-laki tadi.”
Biasanya ayah makan dan tidur di kantor, karena ia bekerja hingga larut malam. Ketika kami duduk dan makan bersama, aku sama sekali tidak ingat apa yang hendak aku tanyakan pada ayah, sampai makanan yang kami lahap hampir habis. Melihat itu ayah berkata kepadaku, “Putraku engkau sibuk makan, hingga lupa mengingatkan aku perihal mengapa aku berdiri untuk menyambut kedatangan laki-laki itu!”
Aku menjawab, “Aku tidak lupa. Tetapi aku hanya ingin menanyakan pada ayah secara rahasia.”
“Putraku, sekaranglah saatnya.”
Kemudian ayah melanjutkan perkataannya, “Bukankah kamu dan seluruh orang yang hadir mengingkari perbuatanku saat aku berdiri untuk Ahmad bin Khalid, baik saat ia datang dan pergi, dan ketika aku berinteraksi dengannya?”
“Iya.”
Ayah kemudian bercerita, “Sebelumnya, Ahmad bin Khalid bekerja sebagai pegawai di Mesir, kemudian aku memindahkannya dari sana setelah sekian lama ia tinggal di negeri itu. Aku pun mengamati perilakunya, dan aku dapati Ahmad merupakan sosok pegawai yang paling baik riwayat hidupnya. Menurutku, tidak ada orang yang begitu amanah dalam mengelola keuangan milik Sultan dan rakyat selain dirinya. Juga, tidak ada seorang pegawai yang mendapatkan ucapan terima kasih dari rakyat melebihi apa yang didapatkannya.
Ada seorang pegawai pos yang bekerja di Mesir, namanya Al Husain yang terkenal dengan sebutan, “Keringat dingin kematian.” Dia adalah sosok yang paling membenarkan perbuatan Ahmad bin Khalid. Padahal, Husain adalah sosok yang paling dibenci orang karena keburukan akhlaknya. Oleh karenanya, aku tidak memilihnya.
Pada tahun lalu dan tahun yang berjalan saat itu, aku melihat Ahmad bin Khalid terlambat melaporkan keuangan. Dia belum sempat menuntaskan pekerjaannya itu karena terlanjur aku pindahkan. Dia juga belum sempat menyampaikan laporannya ke kantor. Dia memang sosok yang sangat berhati-hati dalam menghitung pemasukan negara. Dia enggan memberikan tambahan gaji pada pegawai kantor, karena akan mengurangi pemasukan negara.
Aku pernah memintanya mengirimkan sejumlah 100.000 dinar per tahun untuk keperluanku sendiri, tapi ia menolak permintaanku itu. Aku kemudian bersikap kasar dan mengancamnya, namun aku akhirnya menurunkan tuntutanku. Kini, aku memintanya untuk menyetor padaku 100.000 dinar per dua tahun. Aku bersumpah di hadapannya, aku tidak mau menerima setorannya jika nilainya kurang dari itu.
Ternyata dia tetap tegar mempertahankan sikapnya. la berkata, “Aku tidak pernah mengkhianati diriku sendiri, lantas bagaimana aku bisa mengkhianati orang lain, dan meninggalkan kebiasaanku untuk menjaga kehormatanku -dari memakan yang haram?”
Aku kemudian mengikat dan memenjarakannya. Dia tetap konsisten mempertahankan sikapnya, hingga ia harus mendekam di dalam penjara selama beberapa bulan.
Al-Husain yang berjuluk si Keringat Dingin Kematian itu menulis surat kepada Khalifah Al-Mutawakkil. la mengatakan kepada Khalifah bahwa perbendaharaan Mesir tak cukup untuk membiayai hidupku. Ia juga menjelaskan tentang kejujuran Ahmad bin Khalid, dan kecenderungan rakyat untuk memilih Ahmad karena iffah (menjaga muru’ahnya).
Suatu hari, ketika aku sedang makan di ruang makan, tiba-tiba datanglah surat dari Ahmad bin Khalid. Ia meminta untuk bertemu denganku karena suatu urusan sangat penting yang ingin ia sampaikan kepadaku. Aku tidak ragu bahwa ia mengirim surat meminta dibebaskan. Mungkin dia telah bertekad untuk menyanggupi permintaanku.
Aku pun mencuci tanganku, lalu memanggilnya. Ahmad meminta bicara empat mata lalu aku kabulkan permintaannya.
“Tuan, tiba saatnya tuan harus membebaskanku. Aku sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan kepada tuan. Aku juga tidak pernah melakukan pelanggaran dan permusuhan.” Kata Ahmad.
“Kamu sendiri yang meminta nasib seperti ini. Jika engkau memenuhi permintaanku, engkau pasti akan bebas. Sekarang penuhilah permintaanku!” kataku.
Dia mulai meminta belas kasih dariku. Ia memberikan jawaban yang tak kuharapkan sebelumnya. Aku pun marah dan mencaci-makinya, “Inikah urusan penting yang kamu maksud dalam suratmu ini? Ternyata engkau hanya minta belas kasih dariku. Kamu telah mengejek dan menipuku!”
“Wahai tuanku, apakah tidak ada jawaban lain selain yang baru saja tuan katakan?”
“Tidak!” jawabku.
“Jika tidak, mohon tuan membaca surat ini!”
la mengeluarkan secarik kertas halus. Seperempat bagiannya dicap dengan stempel kerajaan. Kuperiksa surat itu dengan seksama. Ternyata surat itu ditulis oleh Al-Mutawakkil. Aku mengenal betul tulisannya. Dalam surat tersebut Al-Mutawakkil memerintahkanku mundur dari jabatan dan menyerahkannya kepada Ahmad bin Khalid. Aku juga diperintah untuk membantunya dan patuh pada intruksinya.
Aku menghadapi masa yang paling sulit. Calon atasanku itu baru saja kucaci-maki. Dan kini, ia sedang dibelenggu oleh rantai-rantai yang kupasang. Aku tercekat, tak mampu berbicara.
Tak lama kemudian, gubernur bersama para pengawalnya telah tiba. Mereka mengelilingi rumahku. Mereka menyita seluruh yang kumiliki; harta, budak-budak, dan semua surat. Aku menundukkan wajah, hingga aku berjalan di hadapan Ahmad bin Khalid yang saat itu masih terikat rantaiku.
Gubernur memanggil tukang besi. la lepas rantai yang membelenggu tangan Ahmad bin Khalid. Saat itu juga kuulurkan tanganku untuk dibelenggu oleh pengawal gubernur.
Ahmad bin Khalid berkata, “Wahai Abu Ayub, langkahkan kakimu!”
Kemudian ia menunggang kudanya, dan berkata, “Wahai Abu Ayub, engkau tinggal di dekat kediaman gubernur. Engkau tidak memiliki rumah dan sahabat di sini, sementara engkau memiliki anggota keluarga yang banyak. Menurutku, tidak ada rumah lain yang lebih layak dari rumah ini.” Sebelumnya, rumah yang kudiami ini memang rumah gubernur.
“Aku mendapati beberapa tempat untuk bisa ditinggali. Aku tidak memiliki banyak keluarga. Maka, tetaplah tinggal di rumah ini!” kata Ahmad.
Gubernur meninggalkan kediamanku, dan mengangkat penggantiku. Ia meninggalkanku, rumahku dan membawa suratku serta seluruh alat kerjaku.
Setelah gubernur pergi, aku berkata kepada para budakku, “Hari ini serasa mimpi. Lihatlah, siapa yang ditugaskan mengawasi kita?”
Mereka berkata, “Tak ada seorang pun.” Aku sangat heran dengan kejadian ini.
Belum lagi aku tunaikan shalat Ashar, semua yang dirampas dariku kini telah dikembalikan, mulai dari pakar keuangan, penulis dan tim ahli. Mereka berkata, “Gubernur telah mengambil semua catatan kami tentang laporan keuangan. Beliau memerintahkan kami untuk menemani tuan dan membebaskan kami.”
Aku semakin bertambah heran.
Keesokan harinya, Ahmad menemuiku. Aku menemaninya berbincang-bincang hingga malam.
Kulakukan rutinitas itu selama tiga puluh hari lamanya. Kami saling mengunjungi, terkadang aku yang mengunjunginya, dan terkadang pula dia yang mengunjungiku. Dia memberikan kepadaku berbagai macam hadiah dan memperlakukanku dengan baik. Setiap hari, dia mengirimkan aneka buah, minuman dingin, hewan, dan manisan.
Setelah tiga puluh hari berlalu, dia menemuiku. Dia berkata, “Aku sangat merindukan Mesir, wahai Abu Ayub. Demi Allah, Mesir bukanlah negeri dengan hawa yang sejuk, dan bukan pula negeri yang airnya segar. Tetapi Mesir adalah negeri yang cocok untuk bekerja. Jika aku singgah di Surra Man Ra’a, aku hanya akan tinggal di sana paling lama satu bulan, sampai ada orang lain yang bisa menjalankan tugasku di sana.”
“Demi Allah, aku masih tinggal di Surra Man Ra’a ini karena aku menunggu perintahmu untuk pergi dari sini” Kataku padanya.
“Berikan aku tulisan sekretarismu! Itu akan menjadi bukti engkau telah menunaikan kewajiban. Pergilah, semoga Alah melindungimu!” kata Ahmad.
Aku pun memanggil sekretarisku, dan menulis sebagaimana yang diinginkan oleh Ahmad. Ahmad berkata, “Pergilah, kapan pun kamu mau.”
Keesokan harinya, aku pergi. Ahmad, gubernur dan seluruh pegawai dan pembesar mengantarkanku sampai di pinggir kota. Ahmad mengatakan, “Engkau akan singgah di sebuah rumah dengan jarak lima farsakh dari sini. Tunggu kedatangan seorang perwira yang akan mengantarkanmu dalam perjalanan ke Ramlah. Karena jalannya rusak.”
Aku kurang enak mendengar penjelasannya itu. Aku berkata dalam hati, “Orang ini hanya ingin menjebakku agar aku meninggalkan semua yang kumiliki, agar ia bisa mengambilnya. Kemudian setelah itu menjebloskan aku ke dalam penjara.”
Aku pun pergi meninggalkan kota yang kutinggali. Aku singgah di lokasi yang ditunjukkan oleh Ahmad. Aku pasrah, menunggu nasib yang bakal kuterima. Dari kejauhan, kulihat serombongan pasukan datang dari arah Mesir.
“Mungkin dia perwira yang akan menemaniku. Atau, jangan-jangan ia lah yang ditugaskan untuk menangkapku.” Aku berkata pada diriku sendiri. Kemudian aku suruh budakku untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Para budakku berkata, “Ahmad bin Khalid sendiri yang datang ke arah kita.”
Aku yakin, rencana besar akan segera datang. Aku pun keluar dari dalam tandu. Kusambut kedatangan Ahmad, dan kuucapkan salam untuknya.
Ketika sudah duduk, Ahmad berkata, “Tinggalkan kami berdua.” Aku yakin, ia datang untuk menangkapku. Duniaku serasa gelap. Seluruh budakku pergi. Kini tinggallah kami berdua di tempat itu.
“Ketahuilah, hari-harimu di Mesir tidak akan lama. Di sana engkau tidak akan mendapatkan apa-apa. Apa yang engkau perintahkan saat engkau masih berkuasa tidak aku penuhi. Dari awal sampai sekarang, aku tunda memberikan izin padamu meninggalkan kota karena aku tidak mampu menjalankan tugasku sendirian. Sekarang aku putuskan untuk menaikkan nafkahmu, setiap tahun 15.000 dinar.
Selama dua tahun, akan terkumpul gaji sebesar 30.000 dinar. Nilainya mungkin lebih kecil daripada yang engkau minta saat itu. Aku telah berusaha mengumpulkan uang itu. Harta dan uang yang ada di atas keledai itu aku bawa ke sini untukmu.”
Aku pun menerima harta itu. Kemudian aku cium tangan Ahmad, “Demi Allah, tuanku melakukan kebaikan yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Barmaki.”
la keberatan dengan ucapanku itu, kemudian mencium tanganku, “Ada hal lain yang aku ingin engkau terima.”
“Apa itu?”
“Engkau berhak menerima 5.000 dinar dari gajiku.”
Aku menolak pemberiannya itu, “Apa yang telah tuan berikan sudah lebih dari cukup.” Namun ia memaksaku untuk menerima. Aku pun menerimanya.
Dia berkata, “Ini Althaf, salah satu hadiah khas Mesir. Aku ingin mengantarmu ke sana. Engkau akan bertemu dengan para sekretaris kantor dan para pemimpin. Mereka akan mengatakan kepadamu, ‘Engkau datang dari Mesir. Manakah hadiah untuk kami?’ Hari-harimu di sana tidak akan lama, dan engkau akan memberikan semua hadiah itu kepada mereka. Aku telah mengumpulkan hadiah-hadiah untuk engkau berikan kepada mereka.”
Ahmad memperlihatkan kepadaku hadiah yang berisi segala hal yang indah dan berharga mahal, mulai dari pakaian mewah, benang emas, pelayan, keledai, kuda, permadani, parfum, permata, hingga pena dan tinta. Kurasa nilainya sangatlah besar. Kuperintahkah kepada pelayanku untuk menerima pemberian Ahmad itu. Aku pun mengucapkan terima kasih ke sekian kali.
Ahmad berkata, “Tuan, aku sangat menyukai permadani. Seseorang telah membuat untukku permadani khas Armenia. Permadani ini cukup untuk menjadi alas bagi sepuluh orang yang ingin menunaikan shalat. Permadani ini dihias dengan benang emas. Kira-kira nilainya adalah 5.000 dinar. Kuhadiahkan permadani ini untuk tuan. Jika tuan menghadiahkannya kepada menteri, maka ia menjadikan tuan sebagai hambanya. Jika tuan menghadiahkannya kepada khalifah, maka ia akan memberikan kedudukan tinggi pada tuan karena permadani ini. Namun aku lebih suka jika tuan menggunakannya untuk tuan sendiri.”
Ubaidullah bin Sulaiman melanjutkan, Ayah berkata, “Aku menerima hadiah itu. Sebelumnya aku tidak pernah melihat permadani sebagus ini, dan aku tidak mengizinkan diriku untuk memberikannya kepada siapa pun. Aku juga tidak mengizinkan siapa pun menggunakannya.”
“Putraku, akankah engkau mencelaku ketika aku berdiri menyambut kedatangan orang sebaik Ahmad?” kata ayah.
“Tidak, demi Allah wahai ayah. Ayah pantas melakukan itu untuk Ahmad. Bahkan, ayah pun pantas melakukan lebih dari itu jika ayah sanggup.”
Sejak saat itu ayah memperlakukan setiap orang yang datang ke kantornya dengan perlakuan yang sangat baik. Ayah berkata, “Ahmad bin Khalid telah mengajarkan kepada kami bagaimana cara memperlakukan orang lain. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.”
[ Ibnu Abdil Bari El-‘Afifi, 155 Kisah Langka Para Salaf ]
2 comments