11
Nov

Kencing Di Kuburan

“Aku pernah terkencing-kencing karena takut pada Ajif, dan sekarang aku telah kencing di atas kuburnya.”

Muhammad bin Fadhl Al-Jarjara’i

Roda kehidupan manusia tidak selamanya berada dalam satu kondisi. Ia selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang menjadi pimpinan, dan kadang menjadi rakyat bawahan. Kadang kaya, kadang miskin. Kadang kelebihan, kadang kekurangan. Ini adalah sunnatullah yang sudah jamak diketahui oleh semua manusia. Maka sikap yang adil ketika kita berada di atas adalah menghormati dan memperlakukan sesama dengan akhlak yang baik. Karena bisa jadi, roda itu berbalik.

Ini adalah kisah nyata yang pernah ada dalam sejarah; Muhammad bin Al-Fadhl Al-Jarjara’i pernah terkencing-kencing disiksa oleh Ajif, karena kerasnya siksaan. Tetapi setelah Ajif meninggal dunia, Muhammad bin Al-Fadhl justru pernah kencing di atas kuburnya. Kisah aneh ini disebutkan oleh At-Tanukhi dalam bukunya, Al-Faraj Ba’da Asy-Syiddah (2/26-28).

Abu Thalib Al-Ja’fari mendengar seorang lelaki berkisah tentang Muhammad bin Fadhl Al-Jarjara’i, orang yang bekerja sebagai salah satu menteri dalam pemerintahan Amirul Mukminin Al-Mu’tashim.

Muhammad berkata, “Aku dipercaya untuk mengelola harta Ajif di Kaskar. Kemudian, seseorang melaporkan bahwa aku telah mengkhianatinya dan merusakkan barang titipannya. Aku dihadapkan padanya dalam kondisi terikat, dan dimasukkan ke rumahnya di wilayah Surra Man Ra’a.

Pada suatu ketika, Ajif berkeliling di komplek industri Surra Man Ra’a. Ketika melihatku, ia langsung mencela, “Kau telah melenyapkan hartaku. Demi Allah, aku akan membunuhmu.” Kemudian ia berkata kepada para pengawalnya, “Bawakan aku cambuk!”

Aku pun dibawa mendekatnya dan siap untuk mendapatkan hukuman cambuk. Tetapi ketika aku melihatnya siap mencambuk, aku kehilangan kesadaran dan tanpa kusadari aku kencing hingga membasahi betisku.

Sekretaris Ajif melihat keadaanku, lalu ia berkata kepada Ajif, “Semoga Allah memuliakan tuan. Tuan sedang sibuk membangun negeri. Biarkan kami yang memukul dan membunuhnya. Sekarang belum terlambat, semestinya tuan menginstruksikan agar orang ini dipenjara, lalu tuan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi! Jika tuduhan yang dialamatkan kepadanya benar, tuan tidak akan kehilangan waktu untuk menghukumnya. Tetapi jika tuduhan itu salah, tuan tidak terperosok ke dalam perbuatan dosa, dan tuan bebas dari kesalahan mengambil keputusan.”

Ajif kemudian memerintahkan agar aku dipenjara. Aku pun mendekam di penjara selama beberapa hari.

Waktu itu, Amirul Mukminin Al-Mu’tashim berperang melawan penduduk Amuriyah. Lalu terjadilah apa yang terjadi. Al-Mu’tashim membunuh Ajif. Ketika berita pembunuhan Ajif ini diketahui sekretarisnya, ia langsung membebaskanku.

Aku pun keluar penjara dengan suka cita. Lalu aku pergi menemui pejabat administrasi kota Surra Man Ra’a. Ia adalah temanku. Ketika melihatku bebas, ia senang. Ia merasa prihatin dengan apa yang kualami selama ini. Kemudian ia memberiku sejumlah uang.

“Mungkin lebih baik engkau memberiku pekerjaan,” kataku kepadanya.

Maka ia memberiku pekerjaan di wilayah Diyar Rabi’ah. Kemudian aku mendapatkan pinjaman dari beberapa pedagang saat mereka mengetahui pekerjaanku sekarang. Tak lama kemudian aku meninggalkan pekerjaanku itu karena kurasa sangat berat.

Ketika kehilangan pekerjaanku, aku teringat sebuah desa kecil di wilayah Karatsa. Ketika dulu berkeliling dalam pekerjaan dinas, aku pernah singgah di sana. Aku pun menginap di sebuah rumah di wilayah itu. Pada pagi hari, aku dapati kamar mandinya sempit dan kurang bersih. Aku pun keluar dari dalam rumah menuju sebuah gundukan tanah di tengah padang pasir. Aku duduk dan buang air di sana.

Pemilik rumah tempatku menginap menyapaku. “Apakah kamu tahu tempat apa yang kau kencingi itu?”

“Hanya sebuah gundukan tanah,” jawabku.

la tertawa, lalu berkata, “Ini adalah kuburan seorang lelaki yang bernama Ajif. Dia adalah salah satu komandan pasukan Amirul Mukminin. Konon, Amirul Mukminin marah pada Ajif, lalu membawanya ke sini dalam keadaan terikat. Sesampainya di tempat ini, ia dibunuh, lalu mayatnya dilemparkan ke tempat ini, persisnya di bawah ini. Setelah pasukan Amirul Mukminin pergi, kami tutupi mayat Ajif dengan gundukan tanah agar anjing-anjing tidak bisa mengetahui keberadaan mayat Ajif. Demi Allah, di bawah gundukan inilah mayat Ajif dikuburkan.”

Aku pun merasa heran. Aku pernah terkencing-kencing karena takut pada Ajif, dan sekarang aku telah kencing di atas kuburnya.”

[ Ibnu Abdil Bari El-‘Afifi, 155 Kisah Langka Para Salaf ]