Da’i Islam Suku Ghifar, Sahabat Abu Dzar Al Ghifari
“Bumi Tidak Pernah Mengandung & Langit Tidak Pernah Menaungi Orang yang Lebih Jujur Dari Abu Dzar.”
(Muhammad Rasulullah)
Di lembah Waddan yang menyambungkan Mekkah dengan dunia luar, ada sebuah kabilah yang tinggal di sana bernama Ghifar. Suku Ghifar ini hidup dari uang setoran yang diberikan oleh para kafilah yang hendak melakukan perdagangan dari Quraisy ke Syam atau sebaliknya.
Terkadang suku ini hidup dengan merampas para kafilah yang tidak memberikan uang yang mereka pinta. Jundub bin Junadah yang dikenal dengan Abu Dzar adalah salah seorang dari penduduk kabilah ini. Akan tetapi berbeda dengan lainnya, ia memiliki keberanian hati, otak yang cerdas dan wawasan yang luas. Dan ia merasa tidak suka sekali dengan berhala-berhala yang disembah kaumnya selain Allah Swt.
Ia menolak kerusakan agama dan akidah yang terjadi pada kebanyakan bangsa Arab. Ia mencari tahu tentang munculnya seorang Nabi yang baru untuk mengisi akal manusia dan hati mereka serta mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Lalu Abu Dzar -yang saat itu berada di kampungnya- mendengar kisah tentang seorang Nabi yang baru dan muncul di kota Mekkah. Ia lalu berkata kepada saudaranya bernama Anis: “Pergilah ke Mekkah dan carilah kisah tentang orang yang mengaku Nabi itu dan mengkau menerima wahyu dari langit. Dengarkanlah apa yang ia ucapkan dan sampaikan kepadaku!”
Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ia berjumpa dengan Rasulullah Saw. Ia pun mendengarkan beberapa sabda Beliau, baru kemudian Anis kembali ke desanya. Abu Dzar lalu menghampirinya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia menanyakan Anis tentang kisah Nabi yang baru dengan penasaran.
Anis berkata: “Demi Allah, menurutku dia adalah seorang yang mengajak untuk memperbaiki akhlak. Ia mengucapkan beberapa kalimat yang bukan syair.” Abu Dzar bertanya: “Apa pendapat orang tentang dirinya?” Anis menjawab: “Mereka menyebutnya dengan penyihir, dukun dan penyair.”
Abu Dzar lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan merasa puas. Maukah kau menjaga keluargaku agar aku berangkat ke sana dan melihat dia dengan mata kepalaku sendiri?” Anis menjawab: “Baik, akan tetapi waspadalah terhadap penduduk Mekkah!”
Abu Dzar mempersiapkan bekal untuk berangkat. Ia membawa tempat air kecil bersamanya. Keesokan harinya ia berangkat menuju Mekkah untuk bertemu dengan Nabi Saw dan mengetahui kisah kenabian Beliau langsung darinya. Abu Dzar tiba di Mekkah dengan diam-diam karena khawatir akan kejahatan penduduknya. Ia telah mendengar kemarahan Quraisy dalam membela tuhan-tuhan mereka dan penyiksaan mereka terhadap orang yang mengaku sebagai pengikut Muhammad Saw.
Oleh karenanya, ia enggan untuk bertanya tentang Muhammad Saw, karena ia sendiri tidak tahu apakah orang yang ia tanyakan nanti termasuk pendukung atau musuh Muhammad. Begitu malam tiba, Abu Dzar berbaring di dalam Masjid. Lalu Ali ra melintasi Abu Dzar dan Ali tahu bahwa Abu Dzar adalah seorang pendatang.
Ali langsung berkata kepadanya: “Ikutilah kami, wahai saudara! Abu Dzar pun mengikutinya dan menginap di rumah Ali. Paginya, Abu Dzar membawa tempat air dan makanannya dan kembali datang ke Masjid tanpa keduanya saling bertanya tentang sesuatu. Kemudian Abu Dzar menghabiskan hari yang ke dua di Masjid dan ia belum juga mengetahui kabar tentang Nabi Saw.
Begitu petang menjelang, ia sudah hendak berbaring di dalam Masjid. Lalu datanglah Ali ra dan berkata kepadanya: “Apakah orang ini tidak tahu rumahnya?!” Kemudian Abu Dzar pergi ke rumah Ali dan menginap di sana pada malam yang kedua. Dan keduanya tidak saling bertanya tentang apapun juga.
Pada malam ketiga Ali berkata kepada Abu Dzar: “Apakah engkau tidak mau bercerita kepadaku mengapa engkau datang ke Mekkah?” Abu Dzar menjawab: “Jika kau berjanji akan menunjukkan apa yang aku cari, maka aku akan mengatakannya.” Maka Ali berjanji untuk melakukannya. Abu Dzar lalu berkata: “Aku datang ke Mekkah dari tenpat yang jauh untuk berjumpa dengan seorang Nabi baru dan untuk mendengarkan sesuatu yang ia ucapkan.”
Maka merebaklah kebahagiaan Ali ra lalu ia berkata: “Demi Allah, dialah Rasulullah, Dialah… Dialah… Besok pagi ikutilah aku kemana aku pergi. Jika aku melihat sesuatu yang mengkhawatirkan aku akan berhenti seolah sedang menuangkan air. Jika aku berjalan lagi maka ikutilah aku sehingga kau masuk ke sebuah pintu bersamaku!”
Malam itu Abu Dzar tidak bisa tidur nyenyak karena rindu sekali ingin berjumpa dengan Nabi Saw, dan ingin sekali mendengarkan wahyu yang diturunkan kepadanya. Keesokan paginya, Ali berangkat bersama tamunya menuju rumah Rasulullah Saw. Abu Dzar mengikuti jejaknya dan ia tidak menoleh ke arah manapun hingga keduanya masuk ke rumah Nabi saw. Lalu Abu Dzar berkata: “Assalamu alaika, ya Rasulullah!” Rasul menjawab: “Wa alaika Salamullah wa rahmatuhu wa barakatuhu!”
Abu Dzar menjadi orang pertama yang memberikan salam kepada Rasul Saw dengan tahiyat Islam. Lalu setelah itu ucapan salam menjadi akrab dipakai orang.
Rasulullah Saw mengajak Abu Dzar untuk masuk Islam dan membacakan kepadanya Al Qur’an. Begitu ia mengucapkan kalimatul haq dan masuk ke dalam agama yang baru, maka ia menjadi orang ke empat atau ke lima yang masuk ke dalam Islam. Sekarang, kita persilahkan Abu Dzar untuk menceritakan kisah selanjutnya sendiri:
Setelah itu aku tinggal bersama Rasulullah Saw di Mekkah dan Beliau mengajarkan Islam kepadaku. Beliau juga mengajarkan aku beberapa ayat Al Qur’an. Beliau bersabda kepadaku: “Jangan kau beritahu siapapun tentang keislamanmu di Mekkah. Aku khawatir mereka akan membunuhmu!” Aku menjawab: “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Aku tidak akan meninggalkan Mekkah sehingga aku datang ke Masjid dan aku akan meneriakkan dakwah kebenaran di hadapan suku Quraisy!” Rasul pun diam.
Aku datang ke Masjid dan suku Quraisy sedang duduk berbincang-bincang di sana. Aku lalu masuk ke tengah-tengah mereka. Aku berteriak dengan sekeras-kerasnya: “Wahai bangsa Quraisy, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Begitu ucapanku hinggap di telinga mereka, maka mereka semua bangun dari tempat duduknya. Mereka berkata: “Tangkaplah orang yang keluar dari agamanya ini!” Mereka pun menangkapku dan memukulku hingga aku hampir mati. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib paman Nabi Saw menarikku, ia berusaha melindungiku dari pukulan suku Quraisy.
Kemudian ia berkata kepada mereka: “Celaka kalian!! Apakah kalian hendak membunuh seorang yang berasal dari Ghifar tempat berlalunya kafilah kalian?! Biarkan ia bersamaku!!” Begitu aku siuman aku datang menghadap Rasulullah Saw. Saat Beliau melihat apa yang aku alami, Beliau bersabda: “Bukankah aku telah melarangmu agar tidak mengumumkan keislamanmu?!” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, itu merupakan keinginan hatiku dan aku telah memenuhinya.”
Beliau bersabda: “Kembalilah ke kaummu dan beritahukan kepada mereka apa yang telah kau lihat dan kau dengar. Ajaklah mereka kembali kepada Allah. Semoga Allah Swt memberi manfaat buat mereka lewatmu dan memberimu balasan karena jasa baik yang kau lakukan kepada mereka. Jika kau mendengar bahwa aku sudah berdakwah secara terang-terangan, maka datanglah kepadaku!”
Abu Dzar meneruskan kisahnya: Aku pun berangkat hingga tiba di perkampungan kaumku. Lalu saudaraku Anis menanyakan: “Apa yang telah kau lakukan?” Aku menjawab: “Aku telah masuk Islam, dan aku telah meyakininya.” Tidak lama berselang, Allah pun melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Ia berujar: “Aku tidak membenci agamamu. Aku kini masuk Islam dan meyakininya juga.” Lalu kami berdua mendatangi ibu kami, kami mengajaknya untuk masuk Islam. Ia menjawab: “Aku tidak membenci agama kalian berdua.” Dan ia pun masuk Islam.
Sejak hari itu, keluarga ini telah masuk Islam dan berdakwah di jalan Allah pada daerah Ghifar. Mereka tidak pernah merasa bosan dan putus asa. Hingga banyak sekali dari penduduk Ghifar yang masuk Islam dan mendirikan shalat. Sebagian dari penduduk Ghifar mengatakan: “Kami akan terus menjalankan agama kami hingga Rasulullah Saw hijrah ke Madinah maka kami akan masuk Islam.” Begitu Rasul pindah ke Madinah, mereka pun masuk Islam.
Rasulullah Saw bersabda: “Ghifar, Allah memberikan maghfirahnya kepada mereka. Ghifar telah masuk Islam dan Allah akan membuatnya senantiasa selamat.” Abu Dzar tinggal di kampungnya sehingga peristiwa Badr, Uhud dan Khandaq terlewatkan olehnya. Kemudian ia datang ke Madinah dan ia mengkhususkan dirinya untuk berkhidmat kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mengizinkannya dan ia begitu gembira dapat mendampingi dan melayani Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw senantiasa memberikan penghormatan dan memuliakan Abu Dzar. Beliau tidak pernah berjumpa dengannya kecuali Beliau menjabat tangannya. Beliau juga senantiasa menampakan wajah ceria dihadapan Abu Dzar. Saat Rasulullah Saw kembali kepangkuan Tuhannya, Abu Dzar tidak sanggup lagi tinggal di Madinah Al Munawarah setelah ditinggalkan pemimpinnya dan kehilangan petunjuknya. Ia pun pergi ke sebuah desa di Syam dan tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq dan Umar Al Faruq ra.
Pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Dzar yang tinggal di Damaskus mendapati kaum muslimin sudah begitu mencintai dunia dan hidup bermewah-mewahan. Hal ini membuat ia keheranan dan menolaknya. Utsman pun memintanya untuk datang ke Madinah dan ia pun datang. Akan tetapi ia merasa sumpek dengan manusia yang begitu cinta dunia, dan manusia pun menjadi benci kepadanya karena ia begitu saklek kepada mereka. Maka Utsman memerintahkannya untuk pindah ke Al Rabdzah, yaitu sebuah desa kecil yang ada di Madinah.
Ia lalu berangkat ke sana dan tinggal di sana di sebuah tempat yang jauh dari keramaian manusia. Ia berzuhud dari hal yang manusia miliki, senantiasa dengan apa yang dijalankan Rasul dan kedua sahabatnya yang lebih mendahulukan akhirat daripada dunia.
Suatu hari ada seseorang yang datang ke rumah Abu Dzar dan melihat ke sekeliling rumahnya, akan tetapi ia tidak menemukan barang apapun. Orang itu bertanya: “Wahai Abu Dzar, mana perabotanmu?!” Ia menjawab: “Kami memiliki rumah di sana (maksudnya akhirat). Kami mengirimkan perabotan kami yang baik ke sana.” Orang itupun mengerti maksud Abu Dzar dan berkata: “Akan tetapi engkau harus memiliki perabotan selagi engkau berada di sini (maksudnya dunia).” Ia menjawab: “Akan tetapi pemilik rumah ini tidak akan membiarkan kami tinggal di sini.”
Amir (pemimpin Syam) mengirimkan 300 dinar kepada Abu Dzar dan berkata kepadanya: “Gunakanlah uang ini untuk mencukupi kebutuhanmu!” Abu Dzar menolaknya sambil berkata: “Apakah Amir negeri Syam Abdullah tidak menemukan orang yang lebih miskin dariku?”
Pada tahun 32 Hijriyah, ajal datang menjemput sang hamba yang taat beribadah dan hidup zuhud, yang disebut oleh Rasulullah Saw sebagai: “Bumi tidak pernah mengandung dan langit tidak pernah menaungi orang yang lebih jujur dari Abu Dzar.”
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita dan anak keturunan kita kelak Generasi-generasi yang zuhud dan taat Beribadah sebagaimana Abu Dzar Al Ghifari.
[ Suar Min Hayatis Shohabah : 65 Shakhsiah, Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya ]
0 comments